ISYARAT KEMAJUAN ALAT TRANSPORTASI DAN PENJAJAHAN DI TANAH JAWA - ILMU BAROKAH MANFAAT

Recent

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Monday, March 19, 2018

ISYARAT KEMAJUAN ALAT TRANSPORTASI DAN PENJAJAHAN DI TANAH JAWA

Selamat berjumpa kembali kepada pembaca setia blog ini. Sudah lama kiranya Saya tidak melanjutkan menulis di blog ini, dikarenakan adanya berbagai kesibukan. Oleh karena itu, Pada kesempatan kali ini saya akan melanjutkan penafsiran terhadap 215 poin dari Jangka Jayabaya, yang telah kita ulas pada tulisan sebelumnya. Bagi sahabat-sahabat yang belum membacanya, silahkan klik link berikut ini:


Pada dasarnya, ada berbagai macam jenis Jangka Jayabaya. Ada berbagai macam jenis Jangka Jayabaya antara satu versi dengan versi yang lain, Ada kesamaan juga ada perbedaan. Oleh sebab itu, kita akan perlahan-lahan membahas dibalik 215 Poin dari Jangka Jayabaya. Perlu diingat jika, Tulisan ini tidak dibuat untuk merusak aqidah dan keyakinan pembaca. Tulisan ini hanya dibuat untuk tujuan memperkaya Khazanah pengetahuan kita tentang sejarah, prediksi dan realita. Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tiga poin pertama dari Jangka Jayabaya tersebut. Bunyi dari 3 poin yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  • Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran, (kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda).,
  • Tanah Jawa kalungan Wesi, (pulau Jawa Berkalung besi).,
  • Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang, (perahu berjalan di atas angkasa).,
Itulah ketiga poin dari Jangka Jayabaya yang akan kita ulas bersama-sama. Dalam upaya untuk menafsirkan 3 poin tersebut, sedapat mungkin saya akan menggunakan referensi yang saya miliki. Berikut adalah ulasan dari masing-masing Poin:

Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran, (kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda).,
Jika kita ingat-ingat kembali, Raja Jayabaya memerintah Kerajaan Kediri pada abad ke-12 Masehi. Itu artinya, saat Raja Jayabaya menuliskan ramalan ini, alat transportasi yang eksis adalah kereta kuda atau hanya gerobak saja. Akan tetapi, jika kita menyadari realitas yang ada di masa ini, tentu kita akan menemukan kebenaran dari isi prediksi tersebut. Saat ini, saat ini kereta kuda tidak lagi sering digunakan oleh manusia. Yang digunakan oleh manusia adalah alat-alat transportasi yang sudah canggih, misalnya: motor, mobil, kereta api dan truk. Mari kita menggunakan logika dasar untuk menafsirkan poin pertama ini. Secara kemajuan alat transportasi, lamaran ini sudah terbukti. Faktanya, kereta kuda hanya eksis di beberapa tempat saja, Misalnya saja di tempat-tempat wisata. Sedangkan sebagai alat transportasi manusia untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mobil dan sejenisnya sudah menggantikan peran kuda bahkan kereta kuda. Dalam Halo ini, Saya tidak memandang kemajuan alat transportasi sebagai sebuah dampak negatif. Akan tetapi, yang menjadi catatan utama adalah apa yang diprediksikan oleh Jayabaya telah benar adanya sebagai fakta.
Pada abad ke 20 di Mangkunegaran, kemajuan dalam bidang infrastruktur jalan berkembang dengan pesat. Hal ini dikarenakan mulai maraknya industri dan perkembangan dalam bidang transportasi. Pada masa itu, kereta api sudah beroperasi serta kendaraan-kendaraan umum mulai bermunculan.

Tanah Jawa kalungan Wesi, (pulau Jawa Berkalung besi).,
Pada poin kedua ini, dituliskan sebuah kalimat yang berbunyi "Tanah Jawa kalungan Wesi" yang memiliki arti tekstual "pulau Jawa berkalung besi". Sejarah penerjemahan tekstual, arti dari kalimat tersebut sudah benar. Akan tetapi Mari kita mencoba berpikir diluar kebiasaan tekstual. 
Kata kuncinya adalah terdapat pada kata kalung. Mari kita menggunakan logika untuk mengoperasionalkan kata kunci ini ke dalam poin nomor 2. Logika dasarnya adalah, kalung digunakan oleh manusia pada bagian lehernya. Jika manusia tersebut menggunakan kalung, maka secara tidak langsung bagian-bagian tubuh kita berada dalam lingkaran kalung tersebut. Apa lagi bagian tulang serta aliran darah yang berada di leher, juga dalam cengkraman lingkaran kalung. Pada konteks Tanah Jawa, jika tertulis pulau Jawa Berkalung besi maka dapat diartikan pulau Jawa dikelilingi besi, atau dapat pula diartikan jika Pulau Jawa Berkalung rel kereta. Akan tetapi, jika kita operasionalkan logika kalung yang dipakai oleh manusia, maka yang sebenarnya Berkalung besi tidak hanya Tanah Jawa. Akan tetapi seluruh unsur-unsur yang berada di dalam tanah Jawa tersebut. 
Kedatangan Belanda pada awal abad ke-17 di tanah Jawa menimbulkan adanya banyak pergolakan dan perlawanan. Alasan perlawanan terhadap Belanda pada abad ke-17 adalah karena Adanya kemungkinan Belanda merusak tiga kekuatan besar di tanah Jawa yaitu Mataram, Cirebon dan Banten. Perlawanan terhadap Belenggu kolonial pertama kali dihembuskan oleh Sultan Agung Mataram pada tahun 1627 sebagaimana yang dinyatakan oleh Ayatrohaedi dalam buku Sundakala. 
Pada awal abad ke 19, pengaruh kolonialisme semakin menancap di Pulau Jawa. Pada tahun 1825 hingga 1830, terjadilah perang besar di tanah Jawa. Perang besar ini kemudian dikenal dengan Perang Diponegoro. Pasca penangkapan Pangeran Diponegoro dalam sebuah pertemuan licik yang direncanakan Belanda, seluruh aset kerajaan dan kekuasaan tanah jawa berpindah ke tangan belanda. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro selanjutnya pulau Jawa benar-benar berkalung besi, baik secara harfiah maupun penafsiran.

Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang, (perahu berjalan di atas angkasa).,
Istilah Perahu seringkali diartikan sebagai salah satu alat transportasi, baik di laut maupun di sungai. Akan tetapi hal tersebut bertentangan dengan kata awang-awang. Dalam bahasa Jawa, kata awang-awang berarti angkasa. Jika kita telaah lebih jauh, antara kata perahu dan awang-awang adalah dua hal yang saling berlawanan dan tidak berkaitan.
Pada masa perkembangan alat transportasi, kendaraan yang dapat melintas di angkasa adalah pesawat. Tetapi, sangat mustahil jika istilah pesawat telah muncul pada 9 abad yang lalu. Sehingga istilah perahu di cukup masuk akal disampaikan oleh Jayabaya, di mana perkembangan alat transportasi pada 9 abad yang lalu tidak secanggih pada zaman ini. 
Demikianlah tafsir modern atas Jangka Jayabaya edisi pertama. Semoga pada pembahasan berikutnya, data yang dapat disajikan lebih bervariasi dan lebih membuktikan Kebenaran akan apa yang diprediksi oleh Jayabaya. Keterbatasan referensi mengakibatkan kesulitan dalam menafsirkan Jangka Jayabaya ini semakin tinggi. Apabila sahabat-sahabat memiliki kritik dan saran, silakan tulis di kolom komentar. Terima kasih.


Referensi:
Abimanyu, S, 2017, Babad Tanah Jawi, Yogyakarta, Laksana
Ayatrohaedi, 2017, Sundakala Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon, Cet 2, Bandung, Pustaka Jaya
Warsino, 2014, Modernisasi di Jantung Budaya Jawa, Jakarta, Gramedia

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Responsive Ads Here