Pertanda Menyusutnya Bumi Menurut Jangka Jayabaya - ILMU BAROKAH MANFAAT

Recent

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Sunday, July 29, 2018

Pertanda Menyusutnya Bumi Menurut Jangka Jayabaya

Apa kabar para pembaca yang budiman. telah lama saya tidak memperbarui ataupun tidak melanjutkan pembahasan tentang Tafsir Jangka Jayabaya. Tema tersebut saya hentikan sementara karena adanya berbagai macam kesibukan yang melanda. Selain itu rusaknya handphone sebelumnya juga menjadi penyebab terhentinya karya-karya saya. Pada tulisan kali ini kita akan membahas kelanjutan dari Jangka Jayabaya poin 7 hingga ke 9. Poin tersebut berbunyi sebagai berikut:
  • Bumi saya suwe saya mengkeret, ( semakin lama semakin mengerut).,
  • Sekilan bumi dipajeki, (Sejengkal Tanah dikenakan pajak).,
  • Jaran doyan mangan sambel, (Kuda suka makan sambal


Kita akan mengulas lebih dalam dari ketiga poin di atas berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi, baik di tanah Jawa maupun di Indonesia pada umumnya. Mengapa Indonesia? karena sesungguhnya Jangka Jayabaya tidak hanya meramalkan masa depan Pulau Jawa, akan tetapi juga masa depan negara kita tercinta. 



Foto Kota Jember dari ketinggian

Bumi Saya Suwe Saya Mengkeret

Menurut Jangka Jayabaya, bumi yang kita tempati mengalami penyempitan dari waktu ke waktu. Apakah anda mempercayai hal ini? Jika anda tidak percaya, saya bersikap sebaliknya. Sebenarnya Jayabaya cukup cerdik dan logis dalam menuliskan poin ke-7 ini. poin ke-7 ini sangat logis dan dapat diuji kebenarannya secara ilmiah.
Jika anda masih tidak mempercayainya, cobalah terapkan atau praktekkan cara berikut: (1). Carilah ruangan berukuran 2 x 2 M., (2). Siapkan 8 hingga 15 orang., (3). Anda harus masuk sebagai orang pertama ke dalam ruangan tersebut., (4). Suruhlah orang kedua untuk masuk ke dalam ruangan tersebut., (5). setelah itu suruh oleh orang ketiga dan seterusnya masuk satu persatu ke dalam ruangan. Apakah yang terjadi?
Ketika Anda memasuki ruangan yang berukuran 2x2M tersebut untuk pertama kali, maka anda masih merasakan ruangan tersebut sangat longgar. Ketika orang kedua memasuki ruangan tersebut, Anda juga masih merasakan longgarnya ruangan itu. Akan tetapi setelah 6 hingga 10 orang masuk ke dalam ruangan tersebut, Anda akan merasakan ruangan tersebut menjadi makin sempit atau dalam bahasa Jangka Jayabaya ruangan tersebut "Mengkeret". Cukup logis bukan?
hal yang serupa juga terjadi pada bumi kita ini. Dahulu ketika Prabu Jayabaya masih bertahta di Kediri, tentu kondisinya tak sepadat hari. Apakah buminya menyusut? Menurut saya bumi hanya mengalami pergeseran. Keterbatasan jangkauan teori saya belum menemukan teori penyusutan bumi. Akan tetapi yang terjadi adalah berubahnya orientasi kita terhadap luas bumi, yang diakibatkan semakin banyaknya populasi manusia. Sebagai contohnya: kepadatan Indonesia pada tahun 1990 adalah 90 orang/km2. 10 tahun kemudian, kepadatan penduduk yang telah mencapai 100 orang/km2. Luas tolak ukurnya tetap adalah 1 km2. Yang bertambah adalah jumlah penduduknya.

Sekilan Bumi Dipajeki

Pada zaman berjayanya kerajaan kerajaan nusantara, istilah pajak belum dikenal. Akan tetapi praktek dari penarikan pajak itu sendiri sudah terjadi. Pada zaman kerajaan dahulu istilah pajak dikenal dengan upeti. Upeti dibayarkan kepada kerajaan di mana penduduk tersebut tinggal. Jika kerajaan tersebut adalah kerajaan yang telah ditaklukan oleh kerajaan lain, maka kerajaan tersebut juga harus menyerahkan sebagian dari upeti kepada kerajaan yang lebih berkuasa. 
Walaupun praktek penarikan pajak telah terjadi sejak zaman kerajaan di nusantara, akan tetapi literatur yang menunjukkan besaran dan ketentuan pastinya masih sangat minim kita ketahui. praktek penarikan pajak semakin menjadi-jadi ketika kolonialisme terjadi di negeri ini. Setelah Indonesia merdeka, praktek penarikan pajak dilanjutkan guna melancarkan pembangunan nasional. 
Lantas apa hubungannya penarikan pajak dengan poin ke-8 dari Jangka Jayabaya? Poin ke-8 tersebut berbunyi "Sekilan bumi dipajek" yang artinya sejengkal tanah dikenakan pajak. Menurut UU No 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah Pasal 85 ayat (4), setiap tanah dikenakan pajak, baik yang merupakan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan Rumah Susun dan hak pengelolaan.
besaran pajak atas tanah di masing-masing daerah tergantung pada nilai objek pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Menurut peraturan daerah Kabupaten Jember No 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, pasal 69 ayat 4, dijelaskan bahwa nilai jual objek pajak minimal Rp10.000.000,00. Artinya sesempit apa pun tanahnya, jika nilai jual tanah tersebut lebih dari 10 juta, maka tetaplah harus membayar pajak.
Jika dahulu pajak dipungut berdasarkan luasan lahan, hal tersebut kini tidak lagi terjadi. Yang menjadi standar hari ini adalah nilai jual objek pajaknya. Sesempit apapun tanahnya, jika melampaui ketentuan minimumnya maka tetap harus membayar pajak. Contoh yang lain adalah, orang-orang yang tinggal di rumah rumah susun atau apartemen, sesungguhnya mereka tidak menempati tanah, akan tetapi menempati sebuah ruang dalam bangunan. sesuai undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi pasal 85 ayat (4E), orang tersebut tetaplah harus membayar pajak. Pada kesimpulannya, poin ke-8 dari Jangka Jayabaya ini telah terjadi.

Jaran Doyan Mangan Sambel

Poin kesembilan dari ramalan jangka Jayabaya ini sebenarnya agak ganjil terdengar di telinga kita. Hingga hari ini, fenomena ini belum dapat kita temukan secara langsung. Kita belum pernah menemukan Seekor kuda yang memakan sesuatu selain rumput, apalagi kuda yang suka makan sambal. Sungguh sangat terdengar aneh. 
Saya menafsirkan poin ke-9 Jangka Jayabaya ini berkaitan dengan kerusakan alam yang telah kita bahas pada tulisan sebelumnya. Artinya, jika Seekor kuda telah memakan sambal, kemungkinan besar yang terjadi adalah rusaknya ekosistem alam. Jika ekosistem alam rusak, Maka Tanaman yang menjadi makanan pokok kuda juga rusak dan minim ketersediaannya. Kita juga dapat menafsirkan poin ke-9 ini menjadi berubahnya sumber makanan dari hewan, baik hewan peliharaan maupun hewan liar. Donna Donna: kucing dahulu hanya memakan daging dan terkadang juga mau makan nasi. Akan tetapi sekarang telah banyak kucing yang mengkonsumsi biskuit. tentu hari ini sudah jauh melampaui kodrat kucing sebagai hewan. untuk mengetahui pembahasan tentang kerusakan alam pada bagian sebelumnya, Klik di sini.

Sangat memungkinkan juga terjadi kelahiran yang lain dari poin ini. Misalnya, justru manusianya lah yang bertindak kehewanan, sehingga seperti kuda. Ya, seekor kuda yang doyan sambal.

Referensi:
UU RI Nomor 28 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Perda Kabupaten Jember Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah

Orang-orang Yang Terlibat Dalam Penulisan Ini:
Teguh Kasiyanto : Penulis
Bayu Wicaksono : Fotografer (Mahasiswa Sosiologi FISIP UNEJ angkatan 2017)
Rani Alivia : Orang yang melengkapi materi perpajakan pada tulisan ini (Mahasiswa D3 Perpajakan UNEJ Lulusan 2018)

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Responsive Ads Here