REVIEW BUKU HUKUM DALAM MASYARAKAT (Karya : Soetandyo Wignjosoebroto) BAB KETIGA Hukum Undang-undang dan Hukum Kebiasaan Rakyat Yang Tidak Tertulis - ILMU BAROKAH MANFAAT

Recent

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, March 15, 2017

REVIEW BUKU HUKUM DALAM MASYARAKAT (Karya : Soetandyo Wignjosoebroto) BAB KETIGA Hukum Undang-undang dan Hukum Kebiasaan Rakyat Yang Tidak Tertulis

Nama.     : Teguh Kasiyanto
NIM         : 140910302053
Matkul.    : Sosiologi Hukum
Prodi.       : Sosiologi

         Apabila Marx, Maine, Durkhelm dan Weber berbicara mengenai perkembangan sistem hukum dari model lama ke model baru maka yang dimaksud dengan sistem baru adalah sistem hukum nasional yang kontraktual dan rasional, dalam fungsinya untuk memfasilitasi kehidupan kapitalistis dengan solidaritas organik. Sistem Hukum Nasional yang berkembang sesuai tradisi Perancis disebut Civil Law System'selalu merupakan sistem hukum perundang-undangan sebagai hasil sistematisasi produk-produk kesepakatan badan legislatif dalam bentuk tertulis. Dalam tradisi Inggris disebut Common Mas System, sistem hukum nasional juga berkembang sebagai suatu sistem hukum tertulis, meskipun tidak hanya berupa hasil dokumentasi dan sistematisasi undang-undang, melainkan juga hasil sistematisasi Jugde Made Laws. Jika kita merujuk pada pengertian dari dua tradisi hukum diatas, sebenarnya mana tradisi hukum yang kita ikuti.? Jika kita amati dari kecenderunganya, maka negara kita lebih condong pada tradisi Inggris, karena negara kita tidak hanya mengakui hukum nasional, akan tetapi hukum adat pun mendapatkan tempat. Negara kita menghargai hukum adat yang bersifat lokal kedaerahan
         Perkembangan pada rentang abad 17-18di beberapa negara di Eropa Barat yang dikenal sebagai perkembangan sejarah tatkala the making of Europe is the making of Kings no more, but the making of nations, telah melahirkan sebuah sistem hukum yang dinyatakan resmi sebagai hukum nasional. Hukum nasional yang dibangun secara rencana untuk menciptakan kesatuan hukum dalam kehidupan nasional tersebut tidak hanya diwujudkan secara eksplisit dan pasti tetap juga tertulis (bahkan dimodifikasi kan) guna menjamin ekonominya yang benar-benar positif. Selama itu juga difungsikan kekuatan kontrol sentral ditangan para pemuncak di jabatan-jabatan pengurus negara. Sebenarnya di negara kita pun kondisinya tak jauh berbeda dengan kondisi di Eropa Barat. Segala peraturan dan perundang-undangan dibuat juga untuk memfasilitasi para agen kapitalis. Contoh sederhana misalnya, proses perizinan industri dibuat satu atap. Artinya yang dapat menikmati fasilitas ini adalah para pemilik modal bukan rakyat jelata apalagi hanya seorang pedagang kaki lima. Ini berbeda dengan kondisi saat awal kemerdekaan, dimana terjadi nasionalisasi aset oleh negara. Tapi yang terjadi kini adalah privatisasi aset oleh asing
         Pertanyaan yang muncul semenjak dahulu hingga sekarang adalah darimana sebenarnya datangnya materi substansi hukum undang-undang nasional itu.? Jika hukum nasional memiliki landasan substansi berupa hukum kebiasaan rakyat yang tidak tertulis, apakah dengan otomatis hukum kebiasaan akan kehilangan legitimasinya sebagai hukum yang berlaku.? Apakah positivisme (yang berhakikat sebagai nasionalisasi) hukum kebiasaan rakyat itu hanya melahirkan legalitas (yang bermakna formal) saja pada hukum undang-undang tetapi yang tidak merampas legitimitas hukum rakyat yang tidak tertulis itu.? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting untuk dijawab, karena perlu adanya kejelasan status dari dua hal yang sama-sama mengatur tapi berbeda konsekuensinya.
Hukum Kebiasaan Rakyat Yang Tidak Tertulis
         Semenjak dahulu manusia sudah hidup saling berdampingan, bahkan sebelum konsep kehidupan modern muncul. Mereka hidup bergerombol (berkomunitas) dan hidup berpencar-pencar antara satu komunitas dengan komunitas yang lain. Mereka menerapkan apa yang disebut oleh Emile Durkhelm sebagai solidaritas mekanik. Dari generasi ke generasi berikutnya, manusia mewariskan sistem tata kehidupan yang mereka jalankan. Mereka memiliki karakter yang berbeda. Sehingga tidak dapat diseragamkan karakter mereka. Ketaatan manusia saat itu adalah ketaatan relatif. Ketaatan jenis ini agak sulit dikawal dan tidak bersumber pada keikhlasan yang mendalam.
         Satuan-satuan masyarakat komunitas masa lalu terdiri dari puluhan hingga ratusan orang dalam lingkungan yang sempit dan terbatas. Kita juga dapat menemukan komunitas dengan jumlah warga ribuan hingga jutaan dalam lingkungan yang lebih luas. Kajian sosiologi hukum tidak akan fokus pada jumlah anggota komunitas, akan tetapi pada dampak yang ditimbulkan dari jumlah anggota komunitas. Pada skala sempit, masyarakat cenderung saling menjaga dan tertib terhadap konsensus yang dibangun. Cara berkomunikasi masih dapat dilakukan dengan tatap muka.
         Pada masa kehidupan komunitas, masyarakat memiliki pola kehidupan yang bercorak kedaerahan. Setiap daerah memiliki tatanan komunitas berdasarkan kesepakatan yang dibuat. Sebagai contoh pada masyarakat Jawa memiliki ajaran tepo sliro. Ajaran ini menata kehidupan masyarakat agar tercapai keteraturan sosial. Inti ajaran tepo sliro adalah kita tidak boleh menyakiti orang lain jika kita tidak ingin disakiti orang lain. Ajaran ini berlangsung dalam waktu yang lama. Ajaran tepo sliro bukan berarti dibuat untuk dilanggar. Akan tetapi masyarakat harus patuh sepenuhnya pada keteraturan tersebut. Sistem tersebut tidak untuk dimaklumkan oleh masyarakat luas.
         Berbagai kajian mengenai hukum rakyat dan komunitas lokal yang belum mengenal cara baca tulis seperti​itu (primitif Law) umumnya dilakukan oleh para sosio-antropolog lapangan salah seorang diantaranya bernama Adamson Hoebel. Hoebel mendeskripsikan hukum masyarakat primitif dari hukum orang-orang Eskimo (dari yang paling sederhana) sampai kebiasaan adat orang-orang Ashanti (yang telah berada diambang peradaban dengan kemampuannya membangun organisasi kerajaan namun belum mampu mengenal budaya baca tulis). Dengan kajian kajian yang empiris Hoebel mencoba mengkaji dan memahami aransemen hukum masing-masing komunitas bangsa itu dengan melakukan pendalaman guna menemukan jural postulate yakni nilai yang paling mendasar yang menjadi basis kultur suku-suku ini ditengah lingkungan alamnya masing-masing yang khas. Kajian yang dilakukan oleh Adamson Hoebel ini sangat menarik dan jarang ditemukan dalam kajian-kajian hukum. Seorang yang murni ahli hukum akan kesulitan melakukan penelitian seperti ini. Karena diperlukan basis pengetahuan sosiologis yang kompleks.
         Kajian sosio-antropologi seperti yang dilakukan oleh Adamson Hoebel merupakan kajian yang mengedepankan gambaran yang realistis mengenai hubungan antara masyarakat dan hukumnya. Dapat disimpulkan bahwa beda masyarakat akan beda pula sistem hukumnya, sedangkan perubahan yang menimpa suatu masyarakat akan mengubah sistem hukumnya. Kehidupan bermasyarakat orang-orang Eskimo yang sangat longgar hanya terorganisasi secara cukup vermakna pada musim-musim panas saja di pesisir-pesisir ketika es telah mencair. Dalam kondisi seperti itu, otoritas pemerintahan tidak mungkin bisa permanen dan tentu saja hukum yang bisa difungsikan sebagai sarana kontrol tidak mungkin berkembang. Di kerajaan Ashanti, dimana komunitas-komunitas lokal dapat diintegrasikan dan dapat dikontrol oleh kerajaan, sistem hukum yang lebih permanen di tangan suatu organisasi kepenguasaa yang lebih mapan tentu bukan merupakan sesuatu yang mustahil.
         Secara natural sistem yang ada pada masyarakat lambat laun terus berkembang. Perkembangan ini menyebabkan otoritas yang semula berada pada masing-masing individu, beralih ke tangan penguasa lokal yang memiliki otoritas untuk mengatur jalanya kehidupan komunitas. Dalam lingkup yang lebih besar misalnya antarkomunitas juga diperlukan penguasa (pemegang otoritas) guna tercapainya perdamaian dalam lingkup luas serta untuk menghindari tindakan main hakim sendiri oleh anggota komunitas. Meskipun terjadi pergeseran dari otoritas penguasa, namun hukum yang ditetapkan kebanyakan masih berupa moral dan norma yang berada pada ingatan penguasa. Hukum tersebut belum eksplisit menjelaskan. Hukum tersebut hanya berupa garis-garis petunjuk tingkah laku bagi manusia. Hanya menunjukkan mana perbuatan perbuatan yang terpuji dan mana perbuatan perbuatan yang tercela. Tentu hukum ini tidak terlalu mengikat. Berbeda jika hukum itu ditetapkan oleh pemerintah dan bersifat memaksa. Karena hukum yang dibuat oleh pemerintah memiliki legitimasi negara yang sangat mengikat.

Perkembangan Ke Arah Terwujudnya Hukum Negara yang Modern dalam Sejarah Eropa Barat dan dalam Gagasan Para Filosofnya
         Jika para sosio-antropolog mengkaji hukum komunitas-komunitas dengan jalan turun ke lapangan untuk menyimak pertumbuhan dan perkembangan hukum itu ditengah-tengah komunitas yang riil dan faktual, tidak demikian dengan kerja pada pemikir dan filosof yang mempelajari tumbuh kembangnya hukum Barat yang berlegjtimasi negara. Para filosof dan teoritisi ini mempelajari tumbuh kembangnya hukum Barat berikut doktrin-doktrin yang mendasarinya dengan menelusuri isi bacaan yang ditinggalkan oleh para pendahulunya mengenai ide-ide falsafah yang berkaitan dengan persoalan. Misalnya saja Rosow Pound, ia telah merekam jejak perkembangan ajaran falsafah hukum Barat ini sejak zaman hidupnya filosif-filosof Yunani hingga pada Yuris-Yuris Roma. Begitulah para pemikir barat berusaha melacak jejak filosofis dari ilmu hukum. Hal ini akan sangat membutuhkan waktu penelitian dan penyelidikan yang memakan waktu sangat lama.
         Menurut Pound berbeda dengan karakteristik hukum kekuasaan bangsa-bangsa primitif, bukan dalam alam pikiran para filosof Yunani dan direalisasikan pada zaman Romawi tidak sebatas mencegah dan mengatasi tindakan main hakim sendiri yang banyak marak dalam kehidupan komunitas positif yang belum terlalu berstruktur ini. Di era Yunani dan Romawi ini, hukum ditegakkan dengan cara menerapkan semenjak awal posisi setiap individu di stadion askriptif mereka masing-masing. Ada status ayo yakni status yang telah ditetapkan seperti itu oleh penguasa sejak awalnya. Dengan memahami status ideal masing-masing, setiap individu akan mengetahui posisinya dan tidak akan bertindak melampaui posisi yang telah ditetapkan secara final demi hukum dan segala kemungkinan berselisih tentu akan dapat dicegah. Dengan demikian kehidupan yang selaras dan serasi pun akan terjamin. Namun kita perlu kritis menyikapi pernyataan tersebut, jika status menjadi ketentuan dari penguasa, maka individu individu tidak dapat berkembang guna memperoleh stratifikasi yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum positif pada masyarakat komunitas, semula berfungsi sebagai penyelaras dan pemecah sengketa-sengketa yang terjadi. Kemudian pada masa Romawi hukum dibukukan. Sehingga mudah diketahui oleh orang banyak. Para Filosof kemudian mencari landasan dari hukum positif. Kemudian mereka menemukan jika hukum positif berlandaskan akal dan nalar manusia. Imperium Romawi mendukung para filosof hingga kekuasaan hukum Gereja yang mengklaim hukum universal menjadi runtuh. Seiring nasionalisme, hukum positif benar-benar menggdiyakiniantikan hukum Gereja. Selanjutnya ruar sertntuhnya otoritas hukum dan politik lama mendorong pencarian basis-basis baru bagi pranata hukum dan politik yang telah diakan sebelumnya. Akhirnya ditemukan pada nalar serta penalaran individu dan unsur-unsur kodratnya diyakini lahir dalam keadaan yang bebas. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya paham kebebasan individu. Sehingga dibutuhkan perangkat pengatur yang memiliki dasar legitimasi yang kuat yang menyebabkan kebebasan individu dapat dibatasi.
         Perkembangan sistem hukum yang dibangun untuk mengontrol kehidupan yang berformat organisasi kenegaraan telah ditulis berdasarkan pengalaman kesejarahan Eropa Barat, bahkan secara lebih konferensi. Penulisnya bernama Harold J. Berman. Berman menelusuri asal-usul hukum barat modern ditengarai muncul sejak diumumkannya proklamasi Paus Gregorius VII, berjudul ReformatioTotius Orbis pada tahun 1075 Masehi. Pernyataan Paus tersebut mendorong kemandirian Gereja sebagai kesatuan politik dan terbebas dari kuasa kaum feodal, kaisar dan raja. Pernyataan yang muncul pasca perang salib ini mendorong revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Eropa Barat. Peristiwa ini mendorong lahirnya konsep supremasi dan legitimasi dalam hukum. Perubahan terbesar terjadi saat munculnya revolusi industri dan revolusi kenegaraan di Eropa Barat.
         Perkembangan hukum modern makin mantap terjadi saat krisis besar melanda negara-negara di Eropa Barat pada abad ke-20. Hal ini semakin memperkokoh kondisi hukum positif. Ada lima karakter hukum modern yang tidak akan ditemui pada hukum komunitas atau hukum adat kebiasaan. Setidaknya ada lima karakter pembeda antara keduanya. Lima karakter tersebut adalah: (1), bahwa hukum Barat itu bersifat positif, dalam arti dinyatakan secara eksplisit dalam rumus-rumus pasalnya yang tertulis demi terjaminnya kepastian dalam hal pembagian hak dan kewajiban., (2), dilandasi keyakinan ideologis bahwa hukum dalam maknanya seperti itu berstatus supremasi mengatasi norma-norma sosial lain (ius) yang tidak atau tidak dipositifkan sebagai hukum., (3), serta memiliki karakter historisitas yang berarti bahwa hukum Barat ini selalu berada dalam suatu proses perubahan dialektis dialogis secara berkelanjutan menuju kesempurnaan fungsional dalam upayanya menemukan keseimbangan yang tegas antara stabilitas dan fleksibelitas., (4), demi kegunaannya yang efektif harus dirawat dan dikelola secara ekslusif oleh suatu kaum profesional tertentu sehingga demi kelestarian profesi ini- tidak pelak harus, (5), ditunjang oleh hadirnya suatu institusi pendidikan hukum pada tingkat universitas.
Legisme, Doktrin Hukum Modern
         Seperti yang kita paparkan pada sub bab sebelumnya, pada abad ke-19 selesailah kekuasaan Napoleon. Pada waktu itu pencarian landasan hukum positif memasuki babak akhir penyempurnaan legitimasi dan supremasi hukum. Para pemikir menda danemukan landasan logis dari hukum, landasan tersebut berupa akal dan pikiran manusia sebagai bahan berdialektika. Pada masa itu undang-undang merupakan hasil dari para pemikir. Undang-undang dalam bentuk yang banyak perlu dikumpulkan untuk dimodifikasi dan dikelola dengan baik oleh lembaga hukum yang formal.
         Pengalaman yang berasal dari Eropa Barat dirintis oleh para pemikir yang bekerja untuk Napoleon Bonaparte yang kemudian ditiru oleh negara-negara lain​di daratan Eropa. The body of legal text ini tersistematisasi dalam berbagai kitab undang-undang. Di negara Inggris dan negeri-negeri jajahannya, himpunan hukum positif itu lebih tersistematisasi melalui suatu proses standarisasi putusan-putusan hakim yang dikerjakan atas dasar kaidah taat asas yang disebut asas precedent. Ditangan para ahli, the body of legal text tersebut dilandasi oleh suatu doktrin atau ajaran dasar yang bersifat ideologis tentang bagaimana seluruh hukum undang-undang itu harus dipahami, dimaknakan dan dipraktikkan.
         Untuk menjadi hukum nasional atau hukum positif, maka terdapat empat doktrin yang harus dipenuhi oleh norma-norma sosial. Doktrin pertama, untuk menjadi hukum nasional norma-norma harus secara eksplisit dan sistematis tersusun dalam bentuk pasal-pasal dan butiran ayat-ayat undang-undang. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Dan terwadahinya segala kepentingan bersama. Dalam bahasa Belanda hal ini disebut rechstaat. Doktrin ini mengajarkan perlakuan hukum yang sama terhadap semua orang tanpa terkecuali. Semua orang diharuskan takluk sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan negara. Seluruh pejabat negara harus bekerja berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jika ia melanggar, maka ia harus dikenakan sanksi sesuai peraturan. Sanksi tersebut bersifat memaksa, karena memiliki legitimasi negara yang sah dan kuat. Jika pelanggaran- pelanggaran tersebut dianggap sudah menjadi kebiasaan, maka tidak lagi dapat disebut Rechstaat.
         Doktrin kedua mengenai dasar legitimasi berlakunya perundang-undangan nasional, yakni keyakinan ideologis bahwa hukum nasional itu memiliki kedudukan yang paling tinggi. Doktrin tersebut adalah the suprene satate of law, atau dalam bahasa Indonesia disebut supremasi hukum undang-undang. Itulah doktrin yang mengajarkan berlakunya suatu keniscayaan bahwa dalam setiap tata perundang-undangan nasionalitu, jika tuntutan akan kepatuhan penduduk memiliki kedudukan paling tinggi untuk mengatasi norma-norma sosial lain yang tidak atau belum dirumuskan secara eksplisit dalam statusnya sebagai hukum undang-undang.
         Doktrin ketiga mengajarkan bahwa hukum nasional harus diperlakukan sebagai hukum dunia yang hadir dalam kehidupan yang lama dan eksistensinya harus dipisahkan dari hukum akhirat yang lebih dipercaya dan diperlakukan sebagai God's order (dalam arti sebagai perintah Tuhan sekaligus diartikan sebagai Tertib ilahi) yang bersifat abadi. Untuk menata kehidupan duniawi yang secara progresif dan terus berkembang dari krisis ke krisis, hukum nasional yang hadir selalu dianggap berkarakter historisitas. Menurut doktrin ini, hukum nasional akan selalu berada dalam suatu proses perubahan Reformatif yang berkelanjutan menuju kesempurnaan yang paling fungsional guru menjaga stabilitas kehidupan di satu pihak tanpa mengurangi daya fleksibilitasnya yang adaptif dalam perubahan di lain pihak.
         Doktrin keempat mengajarkan bahwa hukum nasional harus dirawat dan dikelola secara ekslusif oleh ahlinya, yakni suatu kelompok profesional yang terdidik pada taraf yang tinggi berlandaskan akan etis yang tinggi pula. Sehubungan dengan profesionalisasi dan profesionalisme dalam menejemen hukum nasional maka hadir institusi pendidikan universitas dibidang kehukuman sebagai syarat yang harus ada sebagai pelengkap institusi yang hadir demi terpeliharanya suatu sistem hukum nasional. Sebagaimana doktrin-doktrin lain yang telah disebutkan sebelumnya, tidak dipenuhinya profesionalisme dalam sistem hukum nasional cepat atau lambat akan mengancam eksistensi hukum nasional. Doktrin-doktrin tersebut diterapkan di negara kita tercinta ini. Karena secara rentetan historisitas Indonesia adalah negara mantan jajahan Belanda. Maka tidak mustahil jika hukum kita memiliki banyak kemiripan dengan negara-negara di belahan Eropa Barat.
Hukum Undang Undang Dalam Dan Untuk Kehidupan Industrial
         Dari berbagai pengertian dan uraian-uraian diatur, dapat disimpulkan bahwa perkembangan kearah kehidupan yang berskala nasional dan berformat industrial memang telah menumbuhkan kebutuhan akan berlakunya tatanan hukum baru. Itulah tatanan atau sistem yang lebih memberikan kepastian yang memungkinkan prediksi dan perencanaan usaha. Lebih bergerak untuk berorientasi kearah masa depan daripada hendak berpaling dan bertahan saja secara konservatif ke kesalahan masyarakat nasional masa lampau yang industrial sangat mengharapkan terciptanya aturan-aturan hukum yang tertulis dan berkepastian tidak hanya dalam hal rumusan-rumusanya tetapi juga dalam hal pemaknaan interpretatif berikut perubahan-perubahan pendayagunaannya . Masyarakat industrial yang selayaknya dikelola secara rasional memang tidak akan dapat bertahan dalam suatu rentang waktu tertentu tanpa adanya konsistensi-konsistensi yang mantap.
         Sementara itu tumbuh kembangnya berbagai organisasi kerja yang tersedia tidak dalam masyarakat industrial yang serta merta akan meningkatkan heterogenitas kehidupan sehingga menyebabkan berbagai aktivitas dalam masyarakat industrial. Hal ini tidak akan mungkin dilangsungkan tanpa kemampuan pengelolaan sentral yang terorganisasi dengan sarana rujukan normatif yang berorientasi sentral pula. Kemampuan mengorganisasikan kehidupan yang tinggi juga akan menyebabkan masyarakat industri mampu mengembangkan (atau setidak-tidaknya menenggang hadirnya heterogenitas pada tataran unsur-unsurnya). Meskipun demikian pada saat yang sama bersamaan mampu mengintegrasikan semua unsur heterogen itu kedalam suatu sistem yang berformat besar. Multiplikasi organisasi itu pula yang menyebabkan masyarakat industrial semakin bersifat struktural dan diiringi dengan perlunya pengendalian hukum yang telah diposisikan. Artinya tidak hanya tersusun secara jelas tetapi juga berlaku dan diberlakukan secara baku. Seperti yang dipaparkan diatas, masyarakat industrial dapat mengatasi problem heterogenitas karena memiliki peraturan yang tetap dan memiliki keterikatan struktural. Keterikatan ini berbeda dengan masyarakat yang bersifat homogen. Masyarakat industrial selalu bersifat dinamis
         Pertumbuhan akan akan kontrol oleh hukum menyebabkan dampak berkembangnya organisasi-organisasi dalam lingkungan hukum. Perkembangan tersebut melahirkan lembaga-lembaga hukum yang kompleks pula. Perkembangan tersebut menyebabkan kepastian yang dituntut juga makin right. Badan legislatif, eksekutif dan yudikatif terlahir sebagai usaha menjawab tuntutan. Menurut Donald Black dalam salah satu tesisnya benar bahwa Law veries directly with organization. Artinya semakin banyak jumlah dan ragam organisasi didalam suatu kehidupan akan semakin kompleks pula aransemen-aransemen dalam sistem hukumnya. Sebagaimana di negara kita sangat banyak lembaga hukum. Lembaga-lembaga tersebut tersusun secara hirarkis, sehingga akan semakin banyak peraturan perundang-undangan yang diturunkan ke ranah yang lebih sempit.
         Hidup dikalangan industrial menimbulkan konsekuensi yang tidak sedikit pula. Tentu hidup di tengah-tengah masyarakat Industrial berbeda dengan hidup di zaman pra-industrial. Hidup di zaman ini dituntut memiliki modalitas yang tinggi. Kita dituntut menjadi sangat dinamis. Bukan hanya bermakna gerakan, akan tetapi juga mobilitas sosial. Kita dituntut untuk terus berpindah secara geografis, akan tetapi juga harus mampu melampaui batas-batas negara dan bahkan benua.
         Bertolak dari doktrin tentang terbebaskanya individu dan status-status yang mematok orang-pada suatu posisi askriptif, dan mengingat kemungkinan orang hidup sejahtera lewat hubungan-hubungan yang boleh ia bangun sendiri lewat proses-proses berkesepakatan kontraktual, tak ayal doktrin yang harus diterima sebagai konsekuensinya adalah sebagai berikut. Doktrin berkesetaraann atau berkesamaan derajat di hadapan hukum dan kekuasaan. Doktrin tersebut juga melahirkan konsekuensinya logis bahwa hukum undang-undang akan diberlakukan sebagai rujukan preskriptif yang objektif dan para hakim pun sebagai personifikasi hukum undang-undang yang harus bersikap dan bertindak independen dalam memperlakukan siapapun tanpa pandang bulu. Jika hal ini terwujud di negara kita, maka dapat kita bayangkan kondisi penegakan hukum di masa ini. Ketertiban akan tercipta dan tak ada lagi ketertindasan salah satu pihak dalam proses peradilan hukum. Tapi sayangnya hukum di negeri ini masih bisa dinego. Maka tidak salah lagi harga diri pun juga menjadi rendah. Carut marut yang terjadi menimbulkan negara ini tidak dihormati dalam kancah internasional. Tapi tentu kita berharap permasalahan di negara kita akan segera usai.

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Responsive Ads Here